100 Hari Pemerintahan Wahid–SF Haryanto: Seharusnya, Fokus Penegakan Hukum, Bukan Pencitraan


 

Pekanbaru, MEDIACEMERLANG – Seratus hari pertama masa kepemimpinan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Wakil Gubernur SF Haryanto menjadi sorotan publik. Setelah resmi dilantik Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka pada 20 Februari 2025, ekspektasi terhadap duet Wahid–SF begitu tinggi. Namun, kenyataan di lapangan mulai menimbulkan tanda tanya besar: ke mana arah Riau Bermarwah yang dulu dijanjikan?

Direktur Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR), Armilis Ramaini SH, menilai bahwa harapan masyarakat mulai memudar. “Euforia pelantikan kini berubah jadi kegelisahan. Program nyata belum terlihat. Yang muncul justru polemik dan kesimpangsiuran informasi,” ujarnya.

Salah satu pemicu kegaduhan adalah pernyataan Gubernur Wahid terkait defisit dan tunda bayar APBD Riau yang disebut mencapai Rp3,5 triliun. Namun, SF Haryanto – yang sebelumnya menjabat Sekda – menyebut angkanya hanya sekitar Rp135 miliar. Perbedaan drastis ini memicu kebingungan publik.

“Dua pemimpin Riau ini tak sejalan bahkan dalam menyampaikan data keuangan. Masyarakat jadi bingung: siapa yang benar?” kata Armilis. Ia juga menyoroti absennya SF Haryanto dalam berbagai agenda resmi Gubernur.

Menurutnya, Wahid terlihat lebih sibuk dengan aksi _road show_ bersama para bupati dan walikota ke kementerian pusat, ketimbang menyusun strategi penyelamatan keuangan daerah secara komprehensif dan kolektif. _“Show force_ semacam itu tak banyak berguna jika tidak dibarengi koordinasi internal yang kuat,” tegas Armilis.

Ia meminta Gubernur Wahid berhenti memainkan politik pencitraan dan lebih fokus pada kerja nyata. “Hentikan kegiatan seremonial dan tampil-tampil di media. Riau ini butuh kerja, bukan panggung,” katanya.

Armilis juga menegaskan pentingnya soliditas antara Gubernur dan Wakil Gubernur. “Jangan jadikan ego sebagai panglima. Kalau keduanya terus berseberangan, yang jadi korban adalah rakyat,” ungkapnya.

Kekhawatiran lain muncul dari isu loyalitas di tubuh birokrasi. Beberapa kepala OPD dikabarkan mengundurkan diri akibat stigma politik. “Ini berbahaya. PNS itu loyal kepada negara, bukan individu. Jangan rusak sistem hanya karena paranoia politik,” kata Armilis.

Ia menutup pernyataannya dengan desakan agar penegakan hukum menjadi prioritas utama. “Korupsi SPPD fiktif DPRD Riau, pembangunan flyover Arengka yang bermasalah, hingga tunda bayar APBD, semuanya adalah bukti lemahnya kontrol dan penegakan hukum. Wahid harus memimpin dengan keberanian hukum, bukan sekadar retorika,” tegasnya.

“Wahid adalah gubernur baru tanpa beban masa lalu. Ini momentum. Jangan disia-siakan. Tegakkan hukum tanpa pandang bulu agar APBD benar-benar kembali untuk rakyat,” pungkas Armilis. (***)

Berita Terkait

Top