Kini Riau Menuntut Marwah

PEKANBARU, MEDIACEMERLANG- Langit Riau berwarna kelabu saat Muhammad Uzer menyuarakan keresahan lamanya. Bukan karena hujan, tetapi karena kabut debu dari truk-truk pengangkut sawit dan kayu yang lalu-lalang di jalan rusak.
Lelaki kelahiran Pulau Terap, Kabupaten Kampar, itu berdiri di antara spanduk bertuliskan “Daerah Istimewa untuk Riau”, dengan mata tajam menatap masa depan yang telah lama dicuri oleh ketimpangan pembangunan.
“Negeri ini sudah terlalu lama hanya menjadi ladang eksploitasi,” katanya. “Minyak kami diambil, hutan kami dibabat, tapi kami tetap miskin.”
Suara Uzer tak lagi sekadar keluhan. Ia kini menjadi Panglima Utama Laskar Melayu Bijuwangsa (LMB) Nusantara, sebuah organisasi masyarakat adat yang tumbuh sebagai reaksi atas kekosongan keadilan. Bersama tokoh-tokoh adat dan aktivis akar rumput, Uzer menyuarakan satu tuntutan: menjadikan Riau sebagai Daerah Istimewa.
Wacana keistimewaan Riau mulai menguat sejak tahun lalu, ketika Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) secara terbuka menyerukan perlunya status khusus bagi Riau.
Argumennya bukan hanya berdasarkan kontribusi ekonomi yang besar kepada negara melalui sektor migas, kehutanan, dan perkebunan, tapi juga pada sejarah panjang Riau sebagai pusat peradaban Melayu.
Bagi Uzer, keistimewaan bukan semata administratif. “Ini soal marwah,” katanya. “Kami ingin agar pengelolaan sumber daya alam, pendidikan, budaya, dan pembangunan bisa lebih dikendalikan dari Riau, oleh orang Riau.”
Uzer mengingat masa kecilnya yang ditempa kerasnya hidup di kampung. Ia menempuh pendidikan dasar di Pulau Terap, lanjut ke SMP di Kateman, Indragiri Hilir, dan SMA di Bangkinang.
Waktu muda dia pernah bekerja di PT RAPP, kemudian menjadi pengusaha galian C, dan kini menjabat Ketua Gakindo Kota Pekanbaru. Di balik kiprah ekonomi, tersimpan konsistensi perjuangan yang jarang disorot media: melawan ketidakadilan dari bawah.
“Coba lihat jalan-jalan ke desa kami. Hancur. Tapi truk-truk besar perusahaan terus lewat setiap hari,” katanya. “Kami hanya dapat debu, sedangkan mereka bawa kekayaan kami keluar.”
Ia mencontohkan bagaimana sebagian besar hutan Riau berubah menjadi lahan sawit dan HTI untuk kebutuhan industri, sementara masyarakat adat yang telah lama tinggal di wilayah itu terpinggirkan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Riau membayar pajak di Jakarta atau luar daerah, menyisakan sedikit bagi kas daerah.
Uzer menyebut keistimewaan sebagai cara untuk membalik arah sejarah. “Kami tak ingin terus jadi penonton. Kami ingin memutus ketergantungan pada pusat, dalam hal yang memang bisa kami kelola sendiri,” ujarnya. “Pendidikan, budaya, pelestarian lingkungan, hingga pengelolaan migas dan kehutanan secara terbatas, harus kembali pada rakyat.”
Langkah Uzer bukan tanpa dasar. Dalam sejarahnya, Riau pernah menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan Melayu, dari Kesultanan Siak hingga Kerajaan Riau-Lingga.
Di masa penjajahan, Riau termasuk wilayah penting dalam struktur perdagangan dan pertahanan kolonial. Setelah kemerdekaan, Riau menjadi provinsi yang menyumbang salah satu devisa tertinggi lewat migas.
Namun fakta itu tak selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup penduduknya. Badan Pusat Statistik mencatat angka kemiskinan di wilayah pesisir Riau tetap tinggi. Infrastruktur dasar tertinggal. Kesenjangan sosial membesar.
“Kami ini daerah kaya yang dijadikan miskin oleh sistem,” kata Uzer. “Makanya, kami perlu satu langkah besar: menjadi Daerah Istimewa, seperti Aceh dan Yogyakarta.”
Di balik seruan-seruan keras itu, Uzer tetap menanamkan pendekatan damai. Ia menghindari agitasi politik sektarian, dan lebih banyak berbicara lewat jalur adat dan budaya. “Kita tidak ingin memisahkan diri dari NKRI. Kita hanya ingin diakui hak-hak kita sebagai daerah yang punya sejarah, kontribusi, dan identitas kuat.”
Uzer juga aktif mendorong kebangkitan budaya Melayu melalui pelatihan seni bela diri, forum adat, hingga kampanye penyadaran ekologi. Ia meyakini bahwa perjuangan ini harus berjalan seiring antara modernisasi dan pelestarian warisan leluhur.
Di sela-sela aktivitasnya, Uzer melanjutkan kuliah strata satu di Universitas Engku Putri Hamidah. Ia sudah menyelesaikan diploma dan kini tengah mempersiapkan ujian skripsi. “Belajar itu bagian dari perjuangan. Kalau mau bicara perubahan, kita harus punya ilmu,” katanya.
Kini, bersama Laskar Melayu Bijuwangsa (LMB) Nusantara, Uzer menjelajahi kampung demi kampung untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya marwah dan kedaulatan. Ia juga aktif membangun komunikasi dengan LAMR dan tokoh-tokoh nasional yang mendukung gerakan keistimewaan.
“Istimewa bukan berarti di atas daerah lain. Tapi kami ingin hak kami diakui dan dihormati,” katanya. “Kami ingin tanah kami dikelola untuk kesejahteraan kami, bukan untuk kepentingan asing atau elit semata.”
Muhammad Uzer bukan pejabat, bukan politisi, bukan tokoh media. Tapi di jalan-jalan berdebu dan desa-desa yang sunyi, suaranya menggema sebagai representasi dari banyak hati yang sudah lama diam.
Suara yang menggugat ketidakadilan, dan menuntut hak yang sah bagi sebuah daerah yang selama ini hanya dikenal sebagai ladang minyak dan lahan sawit.
Dari Pulau Terap hingga ke gedung-gedung birokrasi, dari jeritan petani hingga bisik anak-anak muda yang tak ingin jadi buruh di negeri sendiri, satu seruan kini mulai bergema: Riau ingin menjadi Daerah Istimewa.
Dan Muhammad Uzer berdiri di garis depan bersama panglima-panglima lainnya, mengawal perjuangan masyarakat Riau yang diprakarsai oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menuntut marwah. (***)