Tatanan Sosial di Era Kekacauan: Menghidupkan Kembali Teori Strukturalisme, Fungsionalisme dan Behaviorisme

Oleh : Nabila Fitri Gunawan
Mahasiswa Pascasarjan Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia (dan global) hidup dalam turbulensi sosial yang nyaris konstan. Polarisasi politik, banjir informasi, krisis kepercayaan terhadap institusi, serta ledakan konten viral membuat banyak orang merasa berada dalam dunia yang tidak stabil. Meski fenomena ini terlihat baru, akar dan polanya justru bisa dijelaskan lewat teori-teori sosiologi klasik yang kerap terlupakan: Strukturalisme, Fungsionalisme, dan Behaviorisme.
Strukturalisme memandang masyarakat sebagai jaringan sistem dan simbol yang membentuk cara berpikir individu.
Dalam konteks hari ini, struktur itu hadir dalam bentuk algoritma media sosial, narasi media, bahasa politik, dan standar sosial digital. Individu, tanpa disadari, dikonstruksi oleh sistem yang mengatur persepsi tentang siapa yang dianggap “benar” atau “salah”, “radikal” atau “netral”.
Ketika narasi dominan ditelan mentah-mentah, struktur sosial bekerja secara halus tapi efektif mengontrol persepsi melalui bahasa, bukan kekuatan fisik. Dengan pendekatan strukturalis, kemunculan buzzer politik, framing media, dan bias publik bisa dilihat sebagai konsekuensi dari struktur wacana yang dikendalikan oleh kekuasaan simbolik.
Berbeda dengan Strukturalisme yang fokus pada sistem tanda dan makna, Fungsionalisme mengajak melihat masyarakat sebagai sistem yang saling tergantung. Ketika satu lembaga terganggu seperti pendidikan atau ekonomi dampaknya terasa di semua lini. Fungsionalisme percaya bahwa setiap bagian masyarakat punya peran, bahkan ketika itu tampak disfungsional.
Misalnya, pandemi menyebabkan disrupsi total dalam kehidupan sosial, tetapi juga mendorong munculnya norma baru: sekolah daring, solidaritas digital, hingga cara baru bekerja. Kekacauan bukan hanya disfungsi, tapi sering kali menjadi awal dari penyesuaian sosial menuju stabilitas baru.
.Sementara itu, Behaviorisme menawarkan perspektif yang sangat kontekstual di era digital: manusia sebagai makhluk yang sangat responsif terhadap stimulus eksternal dan penguatan sosial.
Perilaku daring masyarakat saat ini seperti membagikan berita tanpa verifikasi, mengikuti tren hanya karena viral, atau membentuk opini berdasarkan “like” dan “engagement” dapat dibaca lewat kacamata behavioris. Di balik layar gawai, algoritma bekerja memberi penghargaan dalam bentuk atensi dan eksistensi. Apa yang sering dilihat, dibicarakan, dan diapresiasi, akan cenderung diulang.
Behaviorisme menjelaskan kenapa hoaks menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan mengapa konten dangkal sering mengalahkan narasi yang mendalam.
Ketiga pendekatan ini Strukturalisme, Fungsionalisme, dan Behaviorisme tidak saling bertentangan, justru saling melengkapi.
Di tengah dunia yang serba cepat, bising, dan kompleks, teori klasik ini memberi peta untuk memahami kembali: mengapa masyarakat berperilaku seperti sekarang, bagaimana struktur mempengaruhi kesadaran kolektif, dan apa fungsi dari setiap gejolak sosial yang muncul.
Menghidupkan kembali teori sosiologi bukan sekadar romantisasi intelektual. Ia adalah alat penting untuk memahami dunia yang terus berubah, agar tidak hanya menjadi penonton dalam kekacauan sosial, tetapi mampu membaca arah, menyusun makna, dan pada akhirnya memperbaiki tatanan itu sendiri. (***)