Strukturalisme Hingga Behaviorisme: Kunci Memahami Masyarakat Yang Terpolarisasi


 

 

Oleh, M. Doni
(Mahasiswa Pascasarjan Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Polarisasi sosial bukan lagi fenomena pinggiran. Ia kini menjadi lanskap utama kehidupan publik dari ruang media sosial hingga ruang tamu keluarga. Pertentangan tajam soal politik, agama, bahkan gaya hidup, kian memperjelas bahwa masyarakat berada dalam ketegangan yang tidak sederhana. Untuk memahami ini secara lebih jernih, pendekatan sosiologi klasik masih sangat relevan. Tiga teori yang bisa menjadi pintu masuk ialah: Strukturalisme, Fungsionalisme, dan Behaviorisme.
Strukturalisme memandang bahwa tindakan manusia tidak berdiri sendiri.

Setiap pikiran dan respons sosial dibentuk oleh struktur yang lebih besar bahasa, simbol, media, institusi. Dalam konteks polarisasi hari ini, struktur itu bisa berupa framing media, konstruksi identitas politik, atau narasi-narasi yang terus direproduksi oleh elite dan teknologi. Strukturalisme menjelaskan bahwa banyak konflik sosial bukan muncul karena perbedaan ide semata, melainkan karena orang-orang hidup dalam sistem makna yang berbeda dan sering kali saling menegasikan. Polarisasi tumbuh ketika struktur wacana yang menguasai ruang publik hanya memberi tempat pada dua kutub: “kami” dan “mereka”.

Sementara itu, Fungsionalisme menawarkan cara pandang yang lebih sistemik. Teori ini melihat masyarakat sebagai organisme yang setiap bagiannya saling mendukung agar sistem tetap berjalan. Ketika terjadi polarisasi, fungsionalisme tidak serta-merta melihatnya sebagai krisis, tetapi sebagai gejala dari ketidakseimbangan fungsi sosial tertentu.

Misalnya, saat lembaga pendidikan gagal menumbuhkan literasi kritis atau ketika media kehilangan fungsi edukatifnya, masyarakat lebih mudah terbelah. Dalam kacamata fungsionalis, polarisasi adalah sinyal bahwa ada fungsi sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan itu menuntut adaptasi.
Behaviorisme memberikan kacamata yang berbeda: ia menempatkan manusia sebagai makhluk yang sangat dipengaruhi oleh stimulus dan penguatan dari lingkungan.

Dalam situasi masyarakat digital, teori ini menjadi sangat relevan. Polarisasi bukan sekadar hasil dari pilihan ideologis, tetapi juga dibentuk oleh algoritma, reward sosial, dan tekanan kelompok. Konten ekstrem mendapat lebih banyak “like”, pendapat moderat tenggelam oleh komentar bising, dan setiap individu secara tidak sadar belajar untuk menyesuaikan sikapnya demi validasi. Behaviorisme menjelaskan mengapa masyarakat makin reaktif, cepat tersulut, dan terjebak dalam siklus respons emosional yang diperkuat secara digital.

Tiga teori ini tidak hanya menjelaskan sebab dari polarisasi, tetapi juga memberi arah bagaimana memahami dan meredamnya.

Strukturalisme mengajak untuk menyadari siapa yang mengontrol makna. Fungsionalisme mendorong refleksi atas peran tiap institusi sosial. Behaviorisme menuntut kesadaran atas kebiasaan kolektif yang dibentuk oleh respons jangka pendek. Dalam masyarakat yang terpolarisasi, memahami akar dan mekanismenya jauh lebih penting ketimbang sekadar memilih posisi.

Menghidupkan kembali teori-teori klasik sosiologi bukan berarti mundur ke masa lalu. Justru dari fondasi itu, dimungkinkan pembacaan baru atas realitas sosial hari ini agar masyarakat tidak terus menjadi korban dari konflik yang tak kunjung selesai, tetapi mampu memahami, menavigasi, dan bahkan menyembuhkan dirinya sendiri. (***)

Berita Terkait

Top