MENGUAK CELAH HUKUM: BANYAKNYA PUTUSAN NAFKAH ANAK YANG TAK PERNAH DIEKSEKUSI


 

Oleh : Nabila Fitri Gunawan
Mahasiswa Pascasarjan Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi,

Putusan pengadilan seharusnya menjadi akhir dari konflik hukum dan awal dari kepastian bagi pihak-pihak yang terlibat. Namun, dalam praktik hukum keluarga di Indonesia, khususnya terkait nafkah anak pasca perceraian, realitas justru jauh dari harapan. Banyak putusan nafkah anak yang telah inkrah (berkekuatan hukum tetap) tidak pernah dieksekusi oleh pihak ayah, dan ironisnya, pengadilan pun sering kali tidak memiliki mekanisme paksa yang efektif untuk memastikan hak anak terpenuhi.

Fenomena ini menunjukkan adanya celah besar dalam sistem hukum keluarga. Ketika seorang ayah diwajibkan membayar nafkah anak oleh pengadilan, tidak ada sanksi tegas atau perangkat eksekusi yang langsung berlaku jika ia mengabaikannya. Pengadilan agama yang memutus perkara tersebut tidak memiliki unit juru sita yang independen, dan prosedur permohonan eksekusi sering kali rumit, mahal, dan memakan waktu. Akibatnya, banyak ibu yang menyerah karena kelelahan menghadapi sistem yang tidak berpihak.

Padahal, nafkah anak bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi kewajiban hukum yang berkaitan langsung dengan hak asasi anak. Ketika hak ini diabaikan, negara sebenarnya gagal melindungi warga yang paling rentan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, persoalan ekonomi pasca perceraian menjadi salah satu sumber utama ketidakstabilan psikologis dan kesejahteraan anak. Tanpa eksekusi yang jelas dan cepat, putusan pengadilan hanya menjadi dokumen tak bernyawa.

Selain itu, tidak adanya data nasional yang akurat tentang tingkat kepatuhan terhadap putusan nafkah anak semakin menyulitkan upaya perbaikan sistem. Banyak kasus tak tercatat secara resmi karena ibu tidak kembali ke pengadilan untuk mengadukan pelanggaran tersebut. Ini memperkuat asumsi bahwa hukum kita lemah dalam menegakkan keadilan jangka panjang bagi perempuan dan anak-anak, meskipun secara formal sudah memiliki payung hukum yang sah.
Langkah reformasi sangat diperlukan. Pemerintah bersama Mahkamah Agung perlu merancang sistem eksekusi putusan nafkah yang lebih sederhana, cepat, dan berpihak kepada anak. Salah satu opsinya adalah dengan menciptakan lembaga semacam child support enforcement unit seperti di beberapa negara, yang bisa bertindak langsung memotong gaji, menahan aset, atau mengenakan sanksi administratif kepada ayah yang mangkir dari kewajibannya. Ini bukan soal menghukum, melainkan memastikan anak tidak menjadi korban dari ketidakpatuhan orang dewasa.

Putusan pengadilan harus berwibawa dan membawa keadilan yang nyata. Ketika hak anak atas nafkah bisa diabaikan begitu saja, kita patut bertanya: sejauh mana negara serius menjalankan mandat konstitusinya untuk melindungi anak? Jika hukum tak lagi mampu memaksa kepatuhan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keadilan, tetapi juga masa depan generasi berikutnya.

Berita Terkait

Top