Eksistensi Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Menjawab Problematika Masyarakat Islam Indonesia

Oleh: Andi Markoni
(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Bukittinggi)
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki kekhasan tersendiri dalam pengaturan hukum keagamaan, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Berbeda dengan negara-negara Islam lain yang menjadikan hukum Islam sebagai hukum negara, Indonesia justru menempatkan hukum Islam dalam koridor hukum nasional yang diakomodasi melalui berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI lahir dari kebutuhan akan adanya kodifikasi hukum Islam yang dapat menjadi pedoman resmi dalam penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan Agama.
Disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, KHI menjadi rujukan utama bagi hakim dalam memutus perkara-perkara seperti perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Namun lebih dari itu, KHI merupakan produk sosial yang tidak lahir dari ruang kosong, melainkan hasil dialektika antara nilai-nilai keagamaan, adat, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang multikultural. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji bagaimana eksistensi KHI hingga saat ini dalam merespons problematika masyarakat Islam Indonesia yang terus berkembang. Apakah KHI masih mampu menjawab tantangan zaman? Ataukah perlu dilakukan revitalisasi agar tetap relevan?
KHI Sebagai Produk Sosial
Dalam perspektif sosiologi hukum, hukum tidak semata-mata dipahami sebagai kumpulan aturan yang mengikat masyarakat, melainkan sebagai produk sosial yang lahir dari proses interaksi sosial di dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum tercipta melalui proses sosial, politik, budaya, serta kebutuhan praktis masyarakat. Hal ini sejalan dengan teori hukum sebagai produk sosial yang dikemukakan oleh para sosiolog hukum seperti Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound, di mana hukum lahir dari kebutuhan sosial (law in action) dan bukan sekadar norma-norma formal belaka (law in books).
KHI merupakan contoh konkret bagaimana hukum agama, dalam hal ini hukum Islam, dikodifikasikan dalam kerangka hukum nasional melalui proses sosial dan politik yang panjang. KHI lahir bukan semata-mata dari teks-teks kitab fikih klasik, tetapi merupakan hasil kompromi dan dialektika antara berbagai faktor sosial yang berkembang di Indonesia. KHI menjadi respon atas kondisi pluralisme hukum Islam di Indonesia yang sebelumnya berjalan dengan sangat variatif, baik berdasarkan perbedaan mazhab, kebiasaan lokal, maupun praktik sosial masyarakat.
Sebelum lahirnya KHI, masing-masing daerah atau pengadilan agama memiliki rujukan hukum yang beragam sesuai dengan tradisi, adat, atau bahkan mazhab tertentu. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya keseragaman dalam penyelesaian perkara-perkara hukum Islam, khususnya dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Akibatnya, masyarakat sering kali mengalami ketidakpastian hukum dan potensi ketidakadilan dalam praktik peradilan.
Oleh sebab itu, pemerintah bersama tokoh-tokoh agama, akademisi, dan praktisi hukum berinisiatif untuk menyusun KHI sebagai pedoman hukum yang dapat berlaku secara nasional di lingkungan peradilan agama. Proses penyusunan KHI dilakukan melalui serangkaian musyawarah, diskusi, dan kompromi antar berbagai kepentingan sosial-dari kelompok agama yang konservatif, kelompok progresif, hingga institusi negara yang berkepentingan menjaga stabilitas hukum dan sosial di Indonesia.
Di sinilah letak KHI sebagai produk sosial. KHI lahir bukan hanya dari teks-teks normatif agama, melainkan juga dari kondisi sosial masyarakat Indonesia yang multikultural, beragam adat istiadat, serta memiliki karakter keislaman yang moderat. KHI menjadi media rekonsiliasi antara syariat Islam dengan konteks sosiokultural masyarakat Nusantara. Nilai-nilai hukum Islam dalam KHI dirumuskan sedemikian rupa agar selaras dengan kebutuhan sosial masyarakat Indonesia modern, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariat yang mendasar.
Sebagai contoh, KHI mengatur ketentuan usia minimal perkawinan, pencatatan perkawinan, dan hak-hak perempuan dalam perkawinan secara lebih jelas. Beberapa ketentuan ini sebenarnya merupakan bentuk ijtihad hukum kontemporer yang disesuaikan dengan kondisi sosial saat ini, di mana isu-isu tentang perlindungan anak, keadilan gender, dan hak-hak perempuan semakin mendapatkan perhatian. Dengan demikian, KHI menjadi produk hukum yang lahir dari konteks kebutuhan sosial masyarakat muslim Indonesia modern.
KHI dalam Menjawab Problematika Sosial Keagamaan
Dalam perjalanannya, KHI memiliki peran penting dalam merespons berbagai problem sosial masyarakat Islam Indonesia, di antaranya: Pertama, Penyeragaman Praktik Hukum Islam. Sebelum KHI, putusan Peradilan Agama sering berbeda-beda karena perbedaan rujukan hukum. Dengan KHI, terjadi standardisasi sehingga tercipta kepastian hukum dalam perkara perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kedua, Modernisasi Hukum Islam, KHI mengakomodasi nilai-nilai syariat sekaligus prinsip kemanusiaan modern. Misalnya, dalam soal batas usia perkawinan, hak-hak perempuan dalam pernikahan, hingga aturan tentang pencatatan perkawinan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak.
Ketiga, Respons terhadap Praktik Sosial Masyarakat KHI di beberapa bagiannya menyesuaikan dengan adat dan kebiasaan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Hal ini penting mengingat Indonesia memiliki keragaman budaya dan praktik sosial yang sangat kaya. Keempat, Kehadiran Negara dalam Pengaturan Hukum Islam Eksistensi KHI menegaskan bahwa hukum Islam di Indonesia tetap berada dalam kerangka hukum nasional dan tidak berjalan sendiri. Ini menjadi bentuk harmonisasi antara hukum agama dan hukum negara.
Kritik dan Tantangan Terhadap KHI
Meskipun memiliki kontribusi besar, KHI tidak lepas dari kritik, terutama terkait beberapa pasal yang dianggap belum cukup responsif terhadap isu-isu kontemporer, seperti: Keadilan Gender Beberapa ketentuan dalam KHI masih dinilai bias gender, misalnya terkait hak suami untuk menjatuhkan talak, pembagian warisan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta kedudukan istri dalam rumah tangga. Hak Anak dan Perempuan Isu tentang hak asuh anak, hak nafkah istri, dan perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi sorotan.
Beberapa aturan dalam KHI dianggap belum sepenuhnya melindungi perempuan dan anak secara proporsional. Tuntutan Pembaharuan Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan sosial, muncul tuntutan untuk merevisi atau setidaknya melakukan reinterpretasi terhadap beberapa ketentuan dalam KHI agar lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Urgensi Pembaharuan KHI Sebagai produk sosial hukum, KHI seharusnya bersifat living document yang bisa diperbarui sesuai dengan dinamika masyarakat. Spirit syariat Islam yang menekankan prinsip maslahah (kemaslahatan) dan ’adalah (keadilan) menjadi dasar moral untuk melakukan pembaharuan tersebut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembaharuan KHI antara lain: Mengakomodasi prinsip kesetaraan gender dan perlindungan hak anak. Menyesuaikan ketentuan hukum keluarga dengan konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Memperkuat aspek perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Menyesuaikan aturan-aturan perkawinan dengan dinamika sosial masyarakat muslim modern.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih memiliki eksistensi yang kuat dalam menjawab problematika masyarakat Islam Indonesia, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Sebagai produk hukum nasional berbasis syariat, KHI berhasil menjadi pedoman resmi yang menjembatani nilai-nilai agama, adat, dan kebutuhan hukum modern. Namun demikian, tantangan zaman yang terus berkembang menuntut KHI untuk senantiasa berbenah. Kritik dan wacana pembaharuan terhadap KHI seharusnya dipandang sebagai bagian dari proses dinamis hukum Islam dalam merespons realitas sosial. Dengan begitu, KHI dapat terus eksis dan relevan menjadi solusi bagi problematika