70% KASUS CERAI GUGAT DIAJUKAN PEREMPUAN: APA YANG SALAH DENGAN SISTEM HUKUM KELUARGA KITA?

Oleh : Nabila Fitri Gunawan
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi,
Tren perceraian di Indonesia menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) Mahkamah Agung mencatat bahwa lebih dari 70% kasus perceraian di Indonesia merupakan cerai gugat, yakni gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri. Angka ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menjadi refleksi krisis yang bukan hanya terjadi di ranah privat rumah tangga, tetapi juga mengarah pada masalah struktural dalam sistem hukum keluarga.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: mengapa semakin banyak perempuan memilih jalur perceraian? Jawabannya tidak sederhana. Banyak perempuan yang merasa tidak mendapatkan perlindungan memadai di dalam institusi perkawinan. Persoalan seperti kekerasan dalam rumah tangga, ketimpangan relasi kuasa, nafkah yang tak terpenuhi, hingga poligami tanpa persetujuan kerap menjadi alasan utama gugatan cerai. Sayangnya, sistem hukum sering kali belum berpihak secara adil terhadap pengalaman perempuan dalam relasi perkawinan.
Kritik terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun telah direvisi sebagian, tetap relevan. Hukum keluarga di Indonesia masih sangat patriarkal, memberi lebih banyak hak kepada laki-laki sebagai kepala keluarga. Dalam praktiknya, perempuan yang mengajukan cerai harus melalui proses pembuktian yang berat dan berlarut-larut, sementara perlindungan hukum bagi mereka dalam aspek ekonomi, hak asuh anak, dan pasca-cerai kerap diabaikan. Banyak pula putusan nafkah yang tidak dieksekusi secara efektif, membuat perempuan menghadapi beban ganda.
Tak hanya itu, mekanisme mediasi di pengadilan agama sering kali lebih menekankan pada penyelamatan rumah tangga daripada keadilan individu. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya, perempuan kerap didorong untuk “memaafkan” dan mempertahankan pernikahan demi anak, tanpa mempertimbangkan keselamatan jangka panjang. Ini menimbulkan trauma berulang yang tidak jarang berakhir pada keputusasaan, bahkan kekerasan lebih lanjut.
Negara seharusnya hadir untuk menjamin perlindungan dan keadilan dalam lembaga perkawinan. Reformasi hukum keluarga bukan hanya soal revisi undang-undang, tetapi juga pembenahan prosedur peradilan agama, penguatan eksekusi putusan, serta integrasi perspektif gender dalam kebijakan publik. Perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak harus menjadi fokus utama agar perceraian bukan lagi satu-satunya pilihan untuk keluar dari ketidakadilan dalam rumah tangga.
Sudah waktunya hukum keluarga di Indonesia dikaji ulang secara menyeluruh. Ketika mayoritas perempuan memilih menggugat cerai, itu bukan sekadar pilihan pribadi itu adalah alarm sosial yang menandakan adanya kegagalan dalam sistem. Jika negara ingin membangun keluarga sebagai fondasi masyarakat yang kuat, maka keadilan dalam hukum keluarga adalah titik awal yang tak bisa ditawar.