Lagi, LSM Gelar Aksi Pasca Putusan Wanprestasi Koppsa-M Rp140 Miliar

Pekanbaru, MEDIACEMERLANG – Untuk ke sekian kalinya, sejumlah orang yang mengatasnamakan LSM Aliansi Rakyat Riau Menggugat (ARRM) kembali melakukan aksi pasca putusan wanprestasi koperasi produsen sawit makmur (Koppsa-M).
Berdasarkan catatan, LSM ARRM ini bolak-balik melakukan aksi serupa, baik sebelum putusan perkara wanprestasi Koppsa-M senilai Rp140 miliar, maupun setelah putusan dibacakan hingga setelah memori banding disampaikan oleh tim pengacara Koppsa-M yang dipimpin pengacara sepuh Amarlis.
Aksi tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk upaya pembentukan persepsi atas perkara yang telah terang benderang dibuka secara umum di muka pengadilan.
Kali ini, mereka kembali melakukan aksi serupa pasca Koppsa-M terbukti melakukan wanprestasi atas berbagai sengkarut persoalan kepengurusan hingga diwajibkan membayar hutang Rp140 miliar atas pembangunan kebun seluas 1.650 Ha di Kantor Gubernur Riau, Rabu kemarin (2/7/2025).
Ketua Independen Pembawa Suara Transparansi (Inpest) Ir Marganda Simamora kembali angkat bicara terkait maraknya aksi-aksi yang terkesan dipaksakan tersebut.
Seharusnya, pria berkacamata itu menilai pihak tergugat tidak perlu buang-buang tenaga dan fokus pada perbaikan manajerial Koppsa-M yang telah mengorbankan petani asli Desa Pangkalan Baru itu.
Ia juga kembali menuturkan putusan Pengadilan Negeri Bangkinang yang dipimpin Hakim Soni Nugraha sebaiknya disikapi secara bijaksana untuk mengakhiri persoalan berkepanjangan konflik kemitraan antara Koppsa-M.
Ia mengatakan bahwa konflik ini terlalu berlarut-larut akibat ulah serta egoisme pengurus. “Sekarang udah ada jalan tengah untuk restorasi, malah menghabiskan energi ke mana-mana. Kenapa saya bilang begini, karena saat ini tidak banyak petani asli di sana. Mayoritas telah berpindah tangan akibat jual beli lahan, seperti yang disampaikan pada fakta-fakta persidangan,” ujarnya.
Persoalan yang terjadi di Koppsa-M sejatinya tidak lepas dari ketidaprofesionalan kepengurusan internal dari sejak terbentuknya koperasi sampai saat ini.
Ia mengatakan telah lama mengikuti persolan Koppsa-M, termasuk memperhatikan ulah para pengurusnya yang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik melaksanakan kewajibannya membayar cicilan, sementara PTPN sebagai corporate guarantee sebagai penjamin ke lembaga perbankan harus terus menutupi cicilan yang berjalan.
Dia menilai, klaim kebun gagal yang selama ini disampaikan oleh KopsaM atas penilaian Disbun Kampar sangat tidak tepat. “Kalau kita simak dari fakta persidangan juga kemarin dibantah sama tim penilainya sendiri,” terangnya.
Selain tidak mengetahui adanya kerjasama eksploitasi kebun Koppsa-M dengan pihak ke-tiga, tim penilai juga tidak mendapat data secara komprehensif selama penilaian kebun berlangsung. “Tim penilai juga menyatakan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi dari Disbun Kampar bahwa kebun Koppsa-M gagal dibangun.”
Menurutnya, langkah hukum yang ditempuh PTPN ini karena sebagai perusahaan negara harus mendapat kepastian hukum atas biaya pembangunan kebun, meski telah disakiti oleh anaknya sendiri. “Saya melihat, KopsaM ini seperti anak durhaka kepada orang tuanya. Sudah dibantu, dilunasi hutangnya, sekarang melawan balik,” sebut Ganda.
Hal senada juga disampaikan oleh para tetua adat Desa Pangkalan Baru, tempat Koppsa-M itu berada.
Kepala Desa Pangkalan Baru Yusri Erwin misalnya. Belum lama ini ia menilai putusan Majelis Hakim merupakan harapan para petani asli Koppsa-M. Putusan tersebut, kata dia, seharusnya menjadi awal yang baik untuk memperbaiki persoalan dan mengembalikan Koppsa-M sesuai peruntukannya, mensejahterakan masyarakat Desa Pangkalan Baru.
“Bukannya malah terus memperkeruh suasana. Cari simpati kemana-mana. Kami sudah lelah dengan konflik berkepanjangan ini. Selama ini, kami hanya menjadi alat bagi segelintir orang yang entah dari mana asalnya, yang rakus akan kekuasaan untuk menguasai areal kami. Masyarakat terpecah belah, tidak ada keharmnonisan di desa akibat konflik ini,” kata pria paruh baya tersebut.
Hal mendesak yang harus segera dilakukan adalah transparansi kepengurusan yang ia nilai tak terlihat akhir-akhir ini. Terlebih pasca ketua sebelumnya harus mendekam dibalik penjara.
Transparansi ini penting untuk dikedepankan menyusul gugatan tersebut dilakukan karena ulah dari para pengurus itu sendiri yang enggan membayar cicilan kepada PTPN, padahal perusahaan sebagai bapak angkat sekaligus corporate guarantee telah menyicil hingga hutang tersebut lunas.
“Coba bayangkan jika tidak ada PTPN, dah lama kebun ini disita oleh Bank. Kemarin juga saat di sidang, Pak Hakim mengatakan, tidak akan berdiri kebun ini kalau tidak ada PTPN. Bank mana yang mau mengeluarkan biaya sebesar itu kalau tidak ada penjamin. PTPN lah sebagai perusahaan negara, yang telah membantu. PTPN juga lah yang merealisasikan permintaan masyarakat kita yang dulu memang sejak awal memohon kepada mereka agar membantu membangunkan kebun,” tegas dia.
“Makanya saya bilang, kami sedih harus para petani asli yang tidak tau apa-apa harus terseret-seret. Persoalannya sederhana, transparan lah pengurus ini,” ujarnya.
“Apa benar tidak sanggup bayar hutang, sementara hasil lahan ada, buah sawit ada, dan bentuk pembayaran pun itu dari persentase nilai penjualan TBS. Sedangkan sekarang ini penghasilan perbulan bisa sampai Rp3 miliar perbulan,” lanjut dia.
Untuk diketahui, Koppsa-M terbukti melakukan tindakan wanprestasi dalam kemitraan bersama PTPN IV Regional III.
Dalam amar putusannya, PN Bangkinang menghukum Koppsa-M untuk membayar dana talangan pembangunan kebun sebesar Rp140.869.808.707 secara tanggung renteng kepada PTPN.
Tidak hanya itu, Pengadilan turut menetapkan kebun Koppsa-M yang bersertifikat Hak Milik (SHM) dan terdaftar di Kantor BPN Kabupaten Kampar dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang pembangunan kebun dan disahkan oleh pengadilan sebagai bagian dari putusan.(*)