Integrasi Teori Behaviorisme dalam Rekonstruksi Hukum Islam

Oleh, Firdaus Arifin
(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sjeck M DJamil Djambek Bukit Tinggi)
Rekonstruksi hukum Islam merupakan proses berkelanjutan yang berupaya menjaga relevansi ajaran Islam dengan perkembangan zaman. Dalam konteks modern, pembaharuan hukum tidak hanya mengandalkan pendekatan tekstual atau tradisional semata, melainkan juga membuka diri terhadap disiplin ilmu lain, termasuk psikologi. Salah satu pendekatan yang potensial dalam hal ini adalah behaviorisme, yakni teori psikologi yang menekankan pentingnya perilaku manusia yang dapat diamati sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
Behaviorisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti John B. Watson dan B.F. Skinner, meyakini bahwa segala bentuk perilaku manusia bukan semata-mata lahir dari dorongan dalam diri, melainkan dipelajari melalui proses pengondisian (conditioning). Terdapat dua jenis pengondisian utama dalam behaviorisme: classical conditioning dan operant conditioning, yang keduanya dapat memengaruhi pola perilaku secara sistematis. Dalam rekonstruksi hukum Islam, pendekatan ini membuka ruang untuk memahami bahwa hukum bukan hanya aturan normatif, tetapi juga alat pembentuk perilaku sosial.
Integrasi behaviorisme dalam rekonstruksi hukum Islam memberikan perspektif baru bahwa hukum Islam dapat diformulasikan atau ditata ulang dengan mempertimbangkan bagaimana hukum bekerja secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam konteks hukum pidana Islam, pemberian sanksi tidak hanya harus dilihat dari sisi teks atau bentuk hukumannya, tetapi juga bagaimana efek hukuman tersebut membentuk perilaku jera dan mendorong perubahan sosial. Prinsip reinforcement (penguatan) dalam behaviorisme dapat digunakan untuk menilai apakah suatu kebijakan hukum membawa dampak positif terhadap kepatuhan masyarakat.
Lebih jauh, pendekatan ini berguna dalam membentuk kebijakan hukum Islam yang lebih partisipatif dan berorientasi pada pembinaan, bukan semata penjatuhan sanksi. Hukum-hukum yang berkaitan dengan keluarga, muamalah, maupun perdata Islam dapat dikembangkan dengan pendekatan edukatif dan behavioristik, yaitu melalui pembiasaan, keteladanan, dan insentif moral. Ini sejalan dengan prinsip tadarruj (bertahap) yang menjadi salah satu metode penyampaian hukum dalam Al-Qur’an.
Selain itu, teori behaviorisme memungkinkan rekonstruksi hukum Islam agar lebih kontekstual dengan realitas sosial. Banyak permasalahan hukum Islam kontemporer yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan analogi (qiyas) atau ijma’, tetapi membutuhkan pemahaman mendalam mengenai perilaku dan kecenderungan masyarakat. Misalnya, dalam persoalan konsumsi, gaya hidup, atau transaksi ekonomi digital, teori perilaku dapat membantu ulama memahami kecenderungan masyarakat dan merumuskan hukum yang bersifat solutif serta aplikatif.
Meski begitu, penting juga untuk menyadari bahwa integrasi behaviorisme dalam hukum Islam harus dilakukan secara selektif dan proporsional. Hukum Islam tetap memiliki basis ilahiyah (ketuhanan) yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan melalui pendekatan empiris seperti behaviorisme. Oleh karena itu, behaviorisme hanya berfungsi sebagai alat bantu dalam rekonstruksi, bukan sebagai dasar normatif. Pendekatan ini harus ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses ijtihad multidisipliner yang melibatkan maqashid syariah, ushul fiqh, dan ilmu sosial modern.
Kesimpulan
Integrasi teori behaviorisme dalam rekonstruksi hukum Islam merupakan langkah inovatif yang memperkaya cara pandang terhadap hukum sebagai alat pembentuk perilaku sosial. Melalui pendekatan ini, hukum Islam dapat direformulasi secara lebih kontekstual dan aplikatif, dengan tetap menjaga ruh dan nilai-nilai dasarnya. Behaviorisme tidak menggantikan landasan normatif syariah, melainkan melengkapinya agar hukum Islam tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam perilaku dan kesadaran umat.