Behaviorisme sebagai Pendekatan Psikologis dalam Pembaharuan Hukum Islam


 

Oleh, Firdaus Arifin
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Sjeck M Djamil Djambek Bukit Tinggi)

Perubahan sosial yang semakin cepat dalam masyarakat modern menuntut adanya pembaharuan hukum Islam yang tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologis dan sosiologis umat. Dalam konteks ini, behaviorisme sebagai salah satu pendekatan psikologi modern dapat menawarkan kontribusi signifikan bagi proses pembaharuan hukum Islam. Dengan menitikberatkan pada perilaku manusia yang dapat diamati, behaviorisme membantu menjelaskan bagaimana norma hukum dapat diterima, dijalankan, atau bahkan ditolak oleh masyarakat.

Behaviorisme berkembang pada awal abad ke-20 melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti John B. Watson dan B.F. Skinner. Teori ini menyatakan bahwa perilaku manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan melalui proses stimulus dan respons. Dalam pandangan ini, perilaku bukan hasil dari intuisi atau akal semata, tetapi merupakan produk dari pengondisian yang terus-menerus. Skinner, misalnya, menekankan pentingnya “reinforcement” atau penguatan sebagai alat untuk membentuk dan mengarahkan perilaku manusia.

Jika kita terapkan pendekatan ini dalam konteks hukum Islam, maka hukum tidak hanya dilihat sebagai seperangkat aturan normatif yang bersumber dari wahyu dan hadis, tetapi juga sebagai sistem sosial yang bertujuan membentuk perilaku umat ke arah nilai-nilai yang diidealkan oleh syariah. Pembaharuan hukum Islam dengan pendekatan behavioristik berarti menempatkan perilaku manusia sebagai titik fokus utama dalam perumusan hukum. Tujuannya adalah menciptakan hukum yang tidak hanya benar secara teks, tetapi juga efektif dalam mengubah perilaku masyarakat secara nyata.

Contoh konkret dapat ditemukan dalam bidang hukum keluarga, ekonomi syariah, maupun hukum pidana Islam. Misalnya, dalam kasus zakat atau infak, penerapan hukum tidak hanya memerlukan perintah teks (nash), tetapi juga strategi penguatan perilaku sosial. Pemberian insentif atau penghargaan kepada muzakki (pembayar zakat) yang konsisten dapat menjadi bentuk reinforcement positif yang mendorong perilaku berulang. Dalam kasus lain, seperti hukum larangan riba, penyadaran berbasis perilaku yang terprogram secara sosial bisa lebih efektif dibandingkan sekadar ancaman hukuman.

Selain itu, pendekatan ini juga mampu menjelaskan mengapa sebagian hukum Islam tradisional tidak selalu berhasil diimplementasikan dalam masyarakat modern. Ketidaksesuaian bisa muncul bukan karena isi hukum tersebut salah, tetapi karena pendekatan penerapannya tidak memperhatikan bagaimana perilaku manusia terbentuk dalam konteks sosial dan budaya kontemporer. Misalnya, sanksi atau bentuk hukuman dalam hukum jinayah klasik mungkin sulit diterima tanpa adanya proses internalisasi nilai yang didukung oleh sistem sosial yang sesuai.

Behaviorisme juga berperan dalam memahami dinamika ijtihad. Ulama yang melakukan ijtihad bukan hanya dituntut untuk memahami nash dan qawa’id fiqhiyyah, tetapi juga harus membaca realitas sosial secara mendalam, termasuk bagaimana masyarakat bereaksi terhadap norma dan regulasi tertentu. Ini berarti bahwa ijtihad bukan sekadar proses rasional-formal, tetapi juga melibatkan analisis psikologis dan behavioristik, yang menjadikan hukum lebih kontekstual dan humanistik.

Lebih jauh, behaviorisme membuka ruang bagi pendidikan hukum Islam yang lebih aplikatif. Dalam proses pendidikan dan dakwah, pendekatan behavioristik menekankan pentingnya pembiasaan, keteladanan, dan lingkungan yang mendukung terbentuknya karakter Islami. Hukum Islam tidak akan efektif diterapkan jika perilaku dasar umat belum sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum tersebut. Maka, pembentukan lingkungan sosial yang Islami menjadi bagian integral dari proses pembaharuan hukum itu sendiri.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa behaviorisme bukan tanpa kritik. Ia sering dianggap terlalu mekanistik dan mengabaikan aspek spiritual serta kesadaran batiniah manusia, yang merupakan bagian penting dalam tradisi Islam. Oleh karena itu, behaviorisme sebaiknya tidak dijadikan pendekatan tunggal dalam pembaharuan hukum Islam, melainkan sebagai pelengkap dari pendekatan teologis, normatif, dan maqashidi (tujuan-tujuan syariah).
Kesimpulan

Pendekatan behaviorisme memberikan kontribusi penting dalam upaya pembaharuan hukum Islam, terutama dalam hal efektivitas penerapan dan penerimaan sosial. Dengan menitikberatkan pada perilaku manusia yang dapat dibentuk dan diarahkan melalui stimulus tertentu, pendekatan ini membantu ulama dan pembuat kebijakan untuk merumuskan hukum yang tidak hanya sahih secara syar’i, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam kehidupan nyata. Behaviorisme, meskipun bukan pendekatan Islamik secara langsung, tetap memiliki nilai strategis dalam membentuk hukum Islam yang adaptif, manusiawi, dan berorientasi pada perubahan sosial yang positif.

Berita Terkait

Top